Oleh: Bantors Sihombing
Tahun 2008, saya bergabung dengan Media Indonesia, satu grup dengan MetroTv, milik Surya Paloh. Di sini saya bertemu orang-orang hebat dalam jurnalistik, seperti Elman Saragih, Saur Hutabarat dan Usman Kansong (seniorku di Fisip USU). Pengalaman yang selalu kuingat, tahun 2008, ditugaskan meliput PON XVII di Kalimantan Timur, secara khusus venue di Tarakan, yang sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Utara.
Terus terang, sebelumnya tak pernah memiliki pengalaman meliput kegiatan olahraga. Sejak menjadi wartawan tahun 2000, saya awalnya berpos di kepolisian, kemudian pendidikan, dan ekonomi. Mungkin karena memang diriku tidak "ahli" dan hobi dalam satupun jenis olahraga.
Apalagi, cabor (cabang olahraga) yang dipusatkan di Tarakan, yang relatif "tenang". Tak ada sentuhan langsung antar tim, dan sepi yel-yel. Keadaan memaksaku untuk belajar menulis pertandingan catur, biliar, bridge, terjun payung, dan aeromodelling. Untung bisa menulis yang ringan-ringan dan feature, membuat laporanku menjadi bervariasi.
Tugas sebagai wartawan Media Indonesia mengharuskan harus lebih banyak tinggal di Medan. Itu sebabnya, pada tahun 2009, kami sekeluarga memutuskan pindah kembali ke Medan. Perumnas Simalingkar, menjadi pilihan untuk mengontrak rumah di Jalan Sagu Raya. Banyak konsekwensi, sebab Yohana harus pindah sekolah, dan menyesuaikan diri dengan kota metropolitan.
Menulis di koran nasional ternyata memiliki tantangan tersendiri. Persaingan sangat ketat, apalagi berita daerah sering kalah saing dengan nasional. Jangan harap bisa menerbitkan berita yang bagus, tanpa nilai berita yang tinggi. Untunglah ada kesempatan menulis feature. Ada beberapa tulisanku tampil hingga dua halaman, antara lain bertema Danau Toba (berkolaborasi dengan Shanty Sibarani), dan kemacetan jalinsum waktu itu.
Perubahan besar kembali kualami ketika Kompas Grup memutuskan membuka koran lokal di Medan. Rencana Kompas yang sudah lama tertunda. Media tersebut bernama Tribun Medan (TM), hadir dalam dua platform, edisi cetak dan online. Saya bergabung sebagai redaktur daerah tahun 2010, dan memulai dari awal belajar tentang penggunaan teknologi digital.
Bekerja di Tribun Medan memperkaya pengalaman dan pengetahuanku sebagai wartawan. Saat itu merintis dari awal, jadi bisa mengalami langsung bagaimana mendirikan media dan mengembangkannya. Sungguh tak mudah, dan butuh nyali besar, bukan hanya modal yang kuat saja. Biar mereka yang memiliki naluri jurnalistik dan bisnis saja mendirikan media, jika tak punya, jangan coba-coba, nanti menyesal.
Saat di Tribun Medan, saya bertemu orang-orang yang luar biasa. Sebut saja Febby Mahendraputra, guru jurnalistik yang penuh inspirasi. Ada rekan kerja yang baik, seperti mas Bambang Soed, Hera, T Agus Khaidir, Perdata Ginting, Tariden Turnip, Etty Wahyuni, Truly Purba, Denny Sitohang, Rahmad, Ekmal, Rachmi Ayu, Taufan, dan banyak nama yang sangat panjang untuk dituliskan. Para junior yang sekarang telah menjadi senior, seperti Adol, Liston, Randy, Momo, Indra, Irfan, Ibey, Budi, Tazli, Feri dan sederet nama hebat lainnya.
Tribun Medan tampil dengan konsep yang berbeda dari koran lainnya.TM merupakan media untuk kalangan middle up (kelas menengah) yang menyasar kaum urban. Itu sebabnya, meski satu grup, pemasarannya tidak akan berbenturan dengan Kompas. Satu di antara ilmu khasnya antara lain, disebut "micro-people", yang penerapannya sangat bervariasi di kelompok Tribun yang tersebar di seluruh Indonesia.Artinya, masih ada ilmu "pamungkas" lainnya.
Bagaimana mengelola media online, saya pelajari di Tribun Medan. Ada sesi-sesi khusus tentang perbedaan berita untuk edisi cetak dan online. Kemudian, bagaimana memanfaatkan media sosial (medsos) untuk mendukung online. Tak heran tribunnews.com, termasuk media oline besar di Indonesia, sebab dikelola secara profesional, dengan tim yang lengkap.(Bersambung)