Oleh : Dra Binur Pretty Napitupulu MM dan Bantors Sihombing S.Sos MSi
Kisah seorang penjual mangga yang namanya tak diketahui di Parapat, Danau Toba, Kabupaten Simalungun, sering diceritakan banyak pihak dalam berbagai kesempatan. Mangga setelah pindah tangan dari penjual ke pembeli, membuat kecewa.
Satu versi menyebutkan sebagian besar mangganya busuk, versi lain mengatakan timbangannya menipu.
Entah siapa yang menambahnya, ada juga versi yang menyebutkan pembeli protes karena mangganya busuk atau beratnya tak sesuai. Penjual bukan minta maaf, malah marah-marah. Pengunjung yang tujuannya ingin menikmati Danau Toba, hanya bisa pasrah dan bersungut-sungut sendiri.
Kekecewaan lainnya yang sering terdengar adalah tentang tarif parkir yang ditetapkan semaunya. Wistawan disebutkan terkejut dan terpaksa harus membayar. Sebab protes dan keberatan tak membuat masalah selesai. Mungkin hanya satu atau dua orang saja yang mengalaminya.
Bisa jadi kisah ini adalah benar adanya pada suatu waktu. Tidak semua penjual mangga dan petugas parkir seperti itu. Tetapi karena terus diulang dari mulut ke mulut, bahkan dalam pertemuan resmi, maka stigma negatif terus melekat. Orang menjadi takut-takut jika membeli mangga, bukan hanya di Parapat saja, tetapi di seluruh kawasan Danau Toba.
Keindahan Danau Toba tidak perlu diperdebatkan lagi. Para ahli memperkirakan Kaldera Toba merupakan produk letusan gunung api besar yang terjadi sekitar 74.000 tahun lalu, letusan yang paling dasyat dalam kurang lebih 2 juta tahun terakhir.
Volume materi vulkanik sekitar 2.800 kilometer kubik yang tersebar di berbagai belahan bumi dan yang merubah drastis di tengah-tengah kehidupan manusia di bumi.
Akibat letusan Gunung Api Toba, terbentuk pulau Samosir yang terangkat dari perut bumi dan kaldera yang terisi air hujan yang kemudian dikenal sebagai Danau Toba.
Danau yang amat indah tersebut ternyata merupakan sebuah mahakarya kedahsyatan fenomena alam. Banyak hal yang bisa dipelajari dari kawasan Danau Toba, dan tidak terbatas hanya mengagumi keelokannya.
John Naisbitt dalam buku “the world’s largest industry” menyatakan industri paling besar di dunia adalah pariwisata. Sejalan dengan apa yang di tulisnya, WTO (World Tourism Sector) juga mulai memasukkan berwisata sebagai hak fundamental. Sektor pariwisata dalam negeri menggeliat dan diproyeksikan akan menjadi sumber pemasukan utama di masa depan.
Sayangnya, pariwisata Danau Toba sedang terpuruk. Tidak terlihat kerumunan wisatawan asing seperti di Bali. Hotel, restoran dan biro perjalanan banyak yang hidup segan, mati tak mau. Pariwisata tak lagi dilihat sebagai sumber mata pencaharian utama. Sebagian besar bergeser untuk memelihara ikan di keramba yang dinilai lebih menjanjikan. Malah menjadi kontraproduktif terhadap pariwisata, karena menganggu estetika dan kelestarian lingkungan.
Keterpurukan itu diawali krisis moneter tahun 1998, yang menghantam semua sektor. Lalu peristiwa Bom Bali I tahun 2002 dan Bom Bali II pada 2005. Dengan alasan keamanan, turis asing tak berani lagi datang. Setelah badai itu semua berlalu, pemerintah memang berusaha membangkitkan kembali pariwisata nasional. Memang prioritas masih di Bali, dengan memusatkan banyak kegiatan di sana.
Pariwisata Danau Toba yang sempat terpuruk masih tertatih-tatih. Saat Presiden Jokowi berkuasa, pemerintah menunjukkan perhatian besar untuk pemulihannya. Setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, diputuskan untuk membentuk badan otorita, sama seperti yang diterapkan di Bali.
Saat ini pemerintah sedang serius melakukan segenap upaya untuk kebangkitan pariwisata Danau Toba. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT) telah terbit dan personelnya telah dilantik. Mereka memiliki tugas besar untuk mengembalikan kejayaan pariwisata Danau Toba.
Di sisi lain, dilakukan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pengembangan kawasan Danau Toba yang akan menjadi basis pariwisata pada Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) Metro Medan-Tebing Tinggi-Dumai-Pekanbaru. Beberapa jalan di sekitar kawasan Danau Toba statusnya akan ditingkatkan menjadi jalan nasional. Salah satunya adalah jalan lingkar luar di sekitar Danau Toba sepanjang 360 kilometer.
Jembatan Tano Ponggol yang menghubungkan Pulau Samosir dan Pulau Sumatera juga akan dibangun. Konsep jembatan ini dengan tiga pilar yang sesuai dengan estetika adat dan budaya Batak, Dalihan na Tolu. Beberapa program pendukung Kementerian PUPR saat ini juga memiliki seperti normalisasi saluran Tano Ponggol, dan pembersihan eceng gondok di Danau Toba. Nantinya akan ada ‘cruise’ atau pelayaran yang dapat membawa wisatawan mengelilingi Pulau Samosir. Ada juga rencana pembangunan ‘livable city’ atau kota layak huni di sekitar kawasan Danau Toba.
Hospitality
Namun perlu dicatat, mengembalikan kejayaan pariwisata Danau Toba takkan berhasil jika hanya membangun fisik saja. Pembangunan mental tak kalah penting, terutama hospitality (keramahtamahan), yang dinilai sudah mulai tergerus di kawasan Danau Toba, sebagaimana digambarkan dalam awal tulisan ini.
Dalam industri pariwisata, hospitality merupakan roh, jiwa, semangat dari pariwisata. Tanpa adanya hospitality dalam pariwisata, maka seluruh produk yang ditawarkan dalam pariwisata itu sendiri seperti benda mati yang tidak memiliki nilai untuk dijual. Hospitality memiliki arti keramah tamahan, kesopanan, keakraban, rasa saling menghormati. (S.Pendit, 2007 : 152).
Katan (2009:45-60) menyatakan bahwa keramahan yang dimiliki orang Indonesia merupakan salah satu alasan kuat wisatawan mancanegara berkunjung ke negeri ini. Hal ini merupakan amunisi untuk membangkitkan sektor pariwisata Indonesia. Danau Toba sebagai bagian tak terpisahkan dari pariwisata Indonesia, tentu dikunjungi dengan alasan yang sama, selain keindahan alam dan keunikan budayanya.
Secara lugas bisa dipahami, keindahan Danau Toba, keunikan budayanya, dan pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan, akan sia-sia, jika hospitality diabaikan. Mungkin turis akan datang sekali, dan akan kapok pada kunjungan berikutnya. Bahkan mereka akan menceritakan pengalaman buruknya kepada orang lain, yang pada gilirannya akan merusak citra wisata Danau Toba.
Kearifan Lokal Orang Batak
Harus diakui memang suara orang Batak, yang mendominasi kawasan Danau Toba, terdengar keras. Orang yang yang baru pertama kali dengar atau tak akrab, mungkin merasa itu kasar dan tak ramah. Benarkah tidak ada keramahtamahan dalam diri orang Batak? Ini perlu dibuktikan, dan jangan percaya dengan kata orang saja atau karena stereotip (konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat, KBBI).
Hospitality berasal dari kata host yang berarti tuan rumah. Di jaman Yunani Kuno, tuan rumah senantiasa menyambut tamu dengan ramah. Mereka mempersilakan makan dan menjamu tamu setara dengan Zeus (pimpinan para dewa dalam legenda Yunani).
Keramahtamahan sebagai tuan rumah yang baik yang selalu dapat menciptakan suasana yang menjadikan tamu mendapat kesan yang sangat baik. Kesan ini sedemikian tinggi nilainya karena dengan begitu para tamu yang akan datang lagi secara kelanjutan. Tidak pandang bulu, apakah dia seorang turis atau tamu biasa harus dilayani dengan baik.
Kebiasaan yang sama sebenarnya ada dalam diri orang Batak sejak zaman dulu. Ini dibuktikan dengan adanya falsafah yang telah lama mengakar dan menjadi kearifan lokal dalam berinteraksi dengan siapa saja, termasuk orang asing. Orang Batak dari dulu terkenal ‘malo martutur’, ramah dengan sesama. Sering juga disebut ‘partamue,’ penerima tamu yang baik.
‘Partamue’ dan disebut ‘parbahul-bahul nabolon, paramak so balunon, parsangkalan so mahiang, dohot tataring na so ra mintop’ (Pemilik bakul, tempat beras atau padi yang besar, tikar yang tak pernah digulung, tatakan/talenan yang tidak pernah kering dan api dapur yang tak pernah padam). Maknanya menggambarkan orang Batak berbudi luhur, saat dikunjungi tamu/keluarga dan senantiasa menerima serta menjamunya dengan ramah dan ikhlas.
Sangat tidak adil memberi penilaian negatif terhadap orang Batak yang tinggal di kawasan Danau Toba tanpa bukti yang akurat. Jangan nilai buku dari sampulnya saja (don’t judge book by its cover) , demikian pepatah asing. Paparan di atas menunjukkan sudah adah kearifan lokal tentang hospitality. Kalaupun sudah tergerus karena pengaruh zaman maka ini menjadi tugas besar bagi Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT) bersama semua pemangku kepentingan. Ini bukan hanya pekerjaan pemerintah saja, semua mesti terlibat, masyarakat, lembaga agama, pendidikan, dan sosial.
Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal tersebut harus dilakukan bersamaan dengan pembangunan fisik yang dilakukan. BOPKPDT akan gagal sama dengan upaya pembangunan pariwisata Danau Toba sebelumnya, jika mengabaikan hal ini. Untuk itu, libatkan pemuka agama, adat, media massa dan lembaga pendidikan agar hospitality kembali menjadi kebiasaan orang Batak.
Bukan hanya dalam konteks pariwisata saja, tetapi dalam segala aspek kehidupan. Keterbukaan orang Batak terhadap orang asing harus dimanfaatkan tanpa menghilangkan identitas budaya. Ada harapan dan optimisme, pariwisata Danau Toba bakal jaya kembali. Selamat bekerja Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba. (*Dra Binur Pretty Napitupulu MM dan Bantors Sihombing S.Sos Msi adalah Dosen Akademi Pariwisata dan Perhotelan Darma Agung Medan)
Posted 20 Jan 2017 10:56, https://www.jurnalasia.com/opini/revitalisasi-kearifan-lokal-untuk-pariwisata-danau-toba/