Jejakku yang Masih Berlanjut: Dari Parongil ke Siantar (1)

Bantors Bantors
Jejakku yang Masih Berlanjut: Dari Parongil ke Siantar (1)
Dok Pribadi
Perjalanan ke Sumba, akhir 2019

Oleh: Bantors Sihombing

Saya Bantors Sihombing lahir, 11 November 1973, di Parongil, desa kecil di Kabupaten Dairi, yang sangat terkenal dengan duriannya. Kedua orangtuaku sama-sama dari Kabupaten Humbahas, bapak berasal dari Tipang, dan ibu saya boru Siregar, dari Pearung.

SD (1980-1986), SMP (1986-1989) hingga SMA (1989-1992), saya tempuh di kampung halaman, Parongil. Sungguh masa yang tak terlupakan, belajar banyak hal dari guru-guru terhebat. Pengalaman sekolah sangat berguna dalam hidupku.

Tahun 1992-1996 adalah masa-masa kuliah di Ilmu Administrasi Negara, Fisip USU. Setelah lulus, masih belajar di sana sebagai membantu Dr Tunggul Sihombing MA mengajar mahasiswa juniorku. Negara memanggilku tahun 1998-2000, menjadi Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (SP3) di Tapanuli Utara, program yang berada dalam naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), waktu itu. Pengalaman terbaik adalah menjadi guru honor selama dua tahun di SMP Negeri 1 Adiankoting, dan SMA Negeri 1 Adiankoting. SMA ini baru berdiri dan belum ada guru tetapnya dikirim pemerintah.

Tahun 2000, saya bergabung dengan Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) Medan. Langkah pertama di dunia yang masih baru samaku, menjadi seorang wartawan. Ada banyak pelajaran dan pengalaman, yang memperlengkapi kompetensiku.

Pada tahun 2001, saya menikah dengan Besti Rohana Simbolon, junior dan rekan pelayananku di kampus. Berkat Tuhan luar biasa, di 2002, putri kami lahir di RS Sari Mutiara Medan, dan diberi nama Yohana Bahana Putri. Nama Yohana, sebagai kesaksian kami, sungguh baiknya Tuhan atas hidupku dan keluarga.

Hanya dua tahun di SIB Medan dan putriku Yohana masih berusia tiga bulan, pemilik SIB DR GM Panggabean memutasiku ke Pematangsiantar, dan diangkat menjadi Korda (Koodinator Daerah). Wilayahnya saat itu meliputi, Siantar, Simalungun, Tebingtinggi, Asahan, Tanjungbalai dan Labuhanbatu. Di kota Siantar yang sangat dinamis, belajar tentang toleransi, dan bagaimana berinteraksi dengan orang yang beragam. Banyak sahabat di kota ini, yang langgeng hingga sekarang. Anakku nomor dua, Boas Bahana Putra, lahir di kota ini tahun 2003.

Selalu kukenang, tahun 2004, ada masalah dengan karikatur "Nasib Si Suar Sair" Harian SIB. Karikatur ini dilaporkan kelompok tertentu ke polisi, dengan dalih menyinggung SARA. Saya dan tiga pegawai SIB Siantar termasuk yang ditangkap meski tidak ditahan, selain rekan-rekan di Medan. Saat kasus ini, saya lebih mengenal wajah polisi dan pengacara yang sebenarnya.

Tahun 2006, perusahaan memutasiku ke Medan, menjadi redaktur daerah. Sebenarnya tugas tersebut sangat menantang sebab harus mengedit berita wartawan daerah, yang selama ini menjadi rekan berbagi pengalaman dan "nasib". Perubahan mendadak, dari yang biasanya di lapangan, ke ruangan ber-AC, serta jauh dari keluarga yang tinggal di Siantar, membuat kesehatanku sempat menurun. Tahun 2007, saya akhirnya mengundurkan diri secara baik-baik dari SIB dan bertahan di Siantar.(*/Bersambung)

Penulis
: Bantors

Tag: