Oleh: Bantors Sihombing
Sudah lama HKBP dipersepsikan sebagai gereja tradisional. Mengapa disebut tradisional, mungkin karena cara dan metode yang digunakan dalam beribadah tak banyak berubah dari zaman ke zaman. Bagaimana para pendeta melayani di zaman missionaris, hingga kemerdekaan, orde lama dan orde baru, dinilai masih sama saja. Kalaupun ada perubahan, tidak terlalu signifikan.
HKBP dianggap tidak adaptif dengan perkembangan zaman. Padahal telah terjadi perubahan di mana-mana dan telah masuk era digital. Teknologi seolah berpacu, dan makin lama makin cepat berubah. Dulu memerlukan puluhan bahkan ratusan tahun bagi suatu teknologi menjadi usang. Kini dalam hitungan tahun, sesuatu yang dianggap masih baru, tiba-tiba menjadi ketinggalan zaman.
Benarkah HKBP tak mengikuti perkembangan zaman? Pendapat ini tidak semuanya benar. Itu bisa dipahami dari sebaran gereja HKBP yang sebagian besar di pedesaan, dan sisanya di perkotaan. HKBP yang di perkotaan relatif lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi. Ketika gereja lain sudah menggunakan infokus dan alat-alat musik yang lebih variatif, HKBP perkotaan secara perlahan mengadopsinya.
Meski ada tantangan dari kalangan internal pelayan dan jemaat. Sebagian dari mereka masih merasa tak nyaman jika tradisi yang telah berlangsung puluhan tahun itu diubah. Jemaat masih merasa cara ibadah HKBP itu tak perlu diubah. Ibadah di gereja, membawa Alkitab dan Buku Ende, diiringi organ. Bernyanyi secara akapela (tanpa diiringi musik) di partangiangan, walau ada sebagian telah menggunakan musicbox HKBP.
Jemaat di pedesaan, agak lambat menerima perkembangan teknologi. Kadang tak ada alat musik di gereja, dengan berbagai alasan. Antara lain, jaringan listrik belum ada, pemusik tak ada, dan organ belum tersedia. Bisa dipahami cara mereka beribadah masih sangat tradisional dan apa adanya. Meski ada alat atau tidak, sebenarnya tak mengurangi makna ibadah tersebut.
Selama kurang lebih 160 tahun, ibadah dalam persepsi jemaat HKBP adalah tatap muka di gereja atau di partangiangan. Ahli komunikasi mengakui tatap muka adalah cara berkomunikasi yang terbaik. Antara komunikator (pendeta, pelayan) dengan komunikan (jemaat) bisa langsung melihat respons dan mimik temannya. Jika umpan baliknya positif, maka pendeta atau pelayan langsung tahu bahwa pesannya telah diterima dan dipahami. Sebaliknya jika negatif maka pendeta bisa memperbaiki caranya berkomunikasi.
Empati juga terbangun dengan cepat dalam komunikasi tatap muka, sebab pendeta bisa memposisikan dirinya dalam posisi jemaat yang mendengarkannya. Berio (1960) menggolongkan empati dalam dua jenis. Pertama, inference theory, yakni mengamati/mengidentifikasi (merasakan) perilaku sendiri untuk menafsirkan perilaku orang lain, Kedua, hole taking theory, yakni menirukan begitu saja orang lain atau mengambil peran orang lain dengan pemahaman atau menyimpulkan peran orang lain, menyimpulkan peran orang lain, mengambilnya dalam pikirannya sendiri, bukan secara fisik.
Itu sebabnya pendeta, pelayan dan jemaat sangat menyukai pertemuan tatap muka. Misal, teknologi komunikasi berkembang, dari penemuan telegram, telepon, ponsel (telepon seluler), hingga smartphone. Semua itu hanya digunakan sebagai alat bantu dalam berkomunikasi, antara satu orang dengan orang lain. Namun, untuk beribadah menggunakan teknologi komunikasi itu masih dianggap ‘aneh, ‘lain’ dan bukan tradisi HKBP.
Pandemi Mengubah Segalanya
Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, semua negara kena dampaknya termasuk Indonesia. Banyak hal yang dulu dengan bebas bisa dilakukan, kini tak bisa lagi. Virus menular dalam interaksi tatap muka antarmanusia. Droplet (percikan pernafasan) menjadi sarana bagi virus tersebut untuk menular ke orang lain.
Pakar kesehatan dunia menganjurkan beberapa resep mujarab untuk mencegah penyebaran Covid-19. Resep tersebut dikenal dengan 5 M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas). Cara hidup baru ini mengubah banyak hal kebiasaan manusia, termasuk dalam beribadah. Sebab penularan Covid-19 sedang tinggi-tingginya, gereja ditutup dan warga dibatasi keluar dari rumah.
Tiba-tiba warga akrab dengan berbagai istilah dan kebiasaan baru di masa pandemi ini. Pertama, work from home (WFH), orang-orang tak perlu lagi pergi ke kantor untuk bekerja. Mereka hanya di rumah, mengerjakan tugas yang diberikan kantornya. Kedua, belajar daring (online), anak-anak tidak lagi pergi ke sekolah. Mereka belajar di rumah menggunakan jaringan internet. Berbagai aplikasi belajar sudah tersedia di internet dan anak-anak bisa mengikutinya, sesuai platfom yang digunakan gurunya,
Ketiga, selalu memakai masker ketika keluar rumah. Beberapa tempat umum memasang peringatan agar menggunakan masker yang standar. Mereka tak memakainya, tidak dilayani, bahkan tak diizinkan masuk, misal ke tempat perbelanjaan. Masker menjadi perlengkapan sehari-hari bagi setiap orang yang ingin bepergian. Awalnya memang agak kaku dan aneh, lama-lama menjadi terbiasa, serta janggal jika tak dipakai.
Keempat, tempat ibadah ditutup, dan kebaktian menjadi online (daring). Jemaat tinggal di rumah, tinggal buka laptop atau smartphone, dan beribadah di sana. Pendeta dan para pelayan harus belajar menyajikan Firman Tuhan serta memimpin ibadah secara daring. HKBP mau tak mau ikut berubah, dan hidup dalam adaptasi baru ini. Perubahan ini tidak hanya di kota, tetapi juga menjalar hingga ke desa-desa.
Sebenarnya bukan pandemi yang memaksa lahirnya teknologi digital ini. Alat dan infrastrukturnya sudah tersedia, namun hanya sebagian yang menggunakannya, terutama dari kalangan milenial. Kaum tua, terutama dari generasi baby boomers dan generasi X masih enggan beradaptasi dengan budaya digital. Kalaupun ada yang memakainya, biasanya karena paksaan pekerjaan, berkaitan dengan survival (bertahan hidup).
Dampak Digitalisasi
Kita harus akui digitalisasi sangat membantu peningkatan kualitas hidup manusia. Banyak hal yang dulu tak mungkin, kini bisa dilakukan dengan mudah. Tak terpikir dulu bisa menggelar seminar dengan pembicara lintas negara, dan peserta dari mana-mana. Begitu juga beribadah ternyata bisa dilakukan di rumah. Pendeta dan pelayan di gereja atau di rumahnya, dan jemaat di tempatnya masing-masing. Mereka bisa beribadah bersama-sama dengan platform online, misal Zoom Meeting atau Google Meet.
Berikut antara lain dampak positif digitalisasi:
1. Informasi bisa beredar dengan cepat dan oleh siapa saja. Jika dulu warga tergantung terhadap media massa seperti surat kabar, radio, dan televisi, kini media sosial (medsos) bisa dengan cepat menyampaikan kabar. Orang-orang telah menggunakan WhatsApp (WA) atau Telegram untuk berbagi informasi apa saja. Dalam konteks bergereja, jemaat tak harus menunggu pengumuman (tingting) mingguan untuk mendapat informasi. Kini gereja telah membentuk grup-grup di medsos dan WA untuk berbagai informasi.
2. Komunitas daring terbentuk dengan adanya media sosial dan media komunikasi seperti WA dan Telegram Di media ini warga tidak hanya bertukar informasi, tetapi bisa sharing, diskusi dan mengobrol. Jarak yang jauh tidak menjadi halangan. Pada masa pandemi, masing-masing di rumah, namun seolah yang diajak bicara berada di samping.
3. Menghemat biaya. Ibadah yang dulu harus memperbanyak kertas acara, kini sudah diatasi dengan membuat pdf acara, dan dibagikan melalui media sosial serta media komunikasi. Ini dikenal dengan konsep paperless (tanpa kertas). Cara ini mendapat sambutan pegiat lingkungan, karena penebangan kayu menjadi bahan pembuat kertas, makin berkurang. Acara yang harus digelar di gedung, dan mengeluarkan biaya transportasi, kini sudah bisa dikumpulkan di pertemuan daring. Rapat-rapat tatap muka menjadi online, sehingga biaya konsumsi dan perjalanan dinas dipangkas.
4. Banyak muncul aplikasi yang membantu manusia. Sebut saja aplikasi transportasi online, yang memudahkan mobilitas warga, dan bisa memesan makanan serta mengirim barang. Ada juga aplikasi membantu siswa belajar, petani dan pedagang terhubung, kesehatan dan ragam hobi.
Meski begitu, digitalisasi juga memiliki dampak negatif, antara lain manusia mengalami dehumanisasi. Smartphone bisa membuat penggunanya kecanduan. Aplikasi di sana, apakah game, tontonan online dan media sosial, bisa menarik penggunanya dari dunia nyata. Mereka menjadi abai dan tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Pelajar bisa lupa mengerjakan tugasnya karena main game, dan ibu rumah tangga lalai mengurus anak, hanya karena asyik bermedsos. Tak heran ada istilah, mendekatkan yang jauh, tetapi menjauhkan yang dekat.
Dampak negatif lainnya digitalisasi juga mengundang kejahatan siber. Data-data pribadi bisa dicuri dan penipuan-penipuan keuangan. Pengguna yang masih awam dan tak waspada menjadi sasaran empuk penjahat siber. Penyebaran berita hoaks, ujaran kebencian, konten pornografi dan perundungan (bullying) marak di internet. Daftar dampak negatif media internet terus berkembang seiring makin canggihnya teknologi tersebut.
Strategi Mengelola Digitalisasi
Digitalisasi ternyata memiliki dampak positif dan negatif. Lalu apakah karena ada dampak negatif, maka teknologi digital tak digunakan? Ini mengingatkan terhadap pisau, yang bisa digunakan membunuh, namun bisa digunakan di dapur untuk memotong cabai dan mengiris bawang. Meski berbahaya, pisau juga bisa bermanfaat dan tetap digunakan hingga kini dalam aneka pekerjaan positif.
Apa bedanya pisau berdampak positif dengan negatif? Ternyata tergantung tangan yang menggunakan! Jika tujuannya untuk kebaikan, maka dampaknya positif. Begitu jugalah teknologi digital, apabila di tangan yang salah, maka dampaknya negatif dan buruk bagi dirinya dan orang lain. Itu sebabnya perlu strategi agar teknologi digital bermanfaat menguatkan ikatan empati dan kebersamaan. HKBP perlu memperlengkapi pendeta, pelayan dan jemaatnya agar bijak memanfaatkan teknologi digital, bukan malah tergilas dan mengalami dehumanisasi.
Berikut beberapa strategi agar teknologi digital bermanfaat menguatkan ikatan empati dan kebersamaan saat pandemi dan pascapandemi:
1. Pandemi membuat banyak jemaat memilih tinggal di rumah. Apalagi sesuai anjuran pemerintah, dalam beberapa momen, kebaktian ditutup. Ketika gereja dibuka kembali, ternyata masih ada pembatasan, dan dari sisi jemaat masih ada yang memilih beribadah di rumah saja. Itu sebabnya, meski pandemi Covid-19 mereda, pelayanan secara daring memanfaatkan teknologi digital sebaiknya tetap ada. HKBP di semua tingkatan perlu membuat seksi pelayanan digital, yang bertugas mengemas berbagai acara dan kegiatan secara daring. Pelayanan digital ini mampu menembus rumah dan pintu kamar yang tertutup. Sasaran bukan hanya jemaat yang memilih tinggal di rumah, tetapi bisa diakses perantau dan warga lain. Pengalaman menunjukkan, yang mengakses ibadah online tidak terbatas jemaat gereja itu saja, dan bisa meluas secara global. Pilihan biasanya tergantung kualiatas dan bobot pelayanan daring yang disediakan.
2. Kualitas pelayanan daring perlu ditingkatkan. Pertama, peralatan dan platform yang digunakan sebaiknya yang berkualitas dan sifatnya massal. Memang perlu biaya, dan gereja harus melihatnya sebagai bagian dari pelayanan, bahkan penginjilan keluar. Kedua, orang-orang yang mengunakannya perlu dilatih, antara lain bagaimana membuat video yang menarik, konten yang berbobot, dan variatif. Renungan yang disampaikan pendeta dan pelayan tak boleh lagi monoton, dan harus memahami kebutuhan jemaat digitalnya.
3. Pelayanan daring tidak terbatas hanya ibadah Minggu dan partangiangan saja. Tim pelayan harus memiliki program membuat pelayanan harian, mulai dari saat teduh, ayat harian, dan ibadah malam. Variasi mesti dipikirkan, dan didiskusikan, sesuai kebutuhan, misal, apakah cukup renungan harian dibuat tertulis atau dalam bentuk pujian serta khotbah. Jenis layanan digital bagi kaum milenial, anak-anak dan orangtua bisa dikemas terpisah dan bisa juga terpadu (umum).
4. Komunitas daring di medsos, WA atau Telegram perlu dibuat dan dikelola secara fleksibel. Sebaiknya percakapan tidak kaku, dan jemaat bisa sharing dan mengobrol antara yang satu dengan yang lain. Aturan tetap ada, supaya jangan ada spam, caci maki dan pornografi. Informasi duka bisa disampaikan di sana, lalu dilakukan penggalangan dana kasih bagi yang memerlukan sehingga empati terbangun dan kebersamaan terbangun dengan baik. Banyak grup WA gereja terkesan kaku dan sifatnya satu arah saja. Partisipasi jemaat dapat ditumbuhkan dalam komunitas daring ini, misalnya melibatkan mereka dalam perencanaan program bersama, implementasinya dan evaluasi. Dengan demikian, empati dan kebersamaan bisa terbangun.
Strategi di atas hanya beberapa masukan saja dan bisa dikembangkan menurut situasi jemaat. Pimpinan jemaat perlu aktif meminta umpan balik dari semua kalangan (orangtua, pemuda, remaja dan anak-anak). Masukan dan kritik jangan ditanggapi reaktif serta harus diterima demi perbaikan layanan digital di masa depan. (*)
Terbit di Majalah Immanuel HKBP Edisi Maret 2022