Sentralisasi Keuangan: Manfaat atau Mudarat Bagi HKBP?

Bantors Bantors
Sentralisasi Keuangan: Manfaat atau  Mudarat Bagi HKBP?
Immanuel HKBP
Sentralisasi Keuangan HKBP

Oleh: Bantors Sihombing

Keinginan mayoritas jemaat HKBP sebenarnya sangat sederhana. Tanpa mengecilkan partohonan yang lain, mereka hanya ingin mendapat pelayanan yang baik dari para pendetanya. Setiap minggu atau paling tidak dua kali sebulan, mendengarkan pendeta berkhotbah, Ketika ingin melangsungkan pernikahan, pendeta diharapkan hadir memberi berkat. Begitu juga ketika ada baptisan, naik sidi, dan ketika ada kematian.

Meski rindu, belum terdengar mayoritas jemaat mengeluh karena tak pernah dikunjungi secara pribadi ke rumahnya. Walau ada saja yang berharap demikian dan mengeluhkannya. Mereka paham kok, pendeta memiliki banyak kesibukan dan bukan hanya dirinya yang harus dilayani. Begitu juga kalau setiap ada partangiangan, tidak harus pendeta yang menyampaikan Firman. Mereka toleransi jika pendetanya hanya bisa sekali beberapa bulan melayani di partangiangan.

Sayangnya tidak semua huria bisa mendapatkan pelayanan pendeta. Sebab untuk bermohon ke Kantor Pusat agar mengirimkan pendeta melayani mereka, ada prasyarat yang harus dipenuhi. Prasyarat itu antara lain, apakah jemaat di huria tersebut mampu menggaji pendeta yang bersangkutan. Sebab Kantor Pusat sifatnya hanya menugaskan, dan gereja setempatlah yang menyediakan anggaran operasional dan gaji pendetanya.

Bisa dipahami mengapa distribusi pendeta terkesan tidak merata. Umumnya hanya di perkotaan dan sebagian kecil di pedesaan yang sudah mampu. Ada banyak huria-huria yang sebenernya layak memiliki pendeta, namun tak memiliki kesempatan. Alasannya klasik, karena belum mampu menyediakan anggaran bagi pendeta. Ironisnya, ada gereja-gereja di kota yang memiliki pendeta lebih dari satu, bahkan 3 hingga 5 orang.

Kondisi ini bukan tak dipahami pimpinan HKBP, namun aturan yang ada belum mendukung untuk mendistribusikan pendeta secara merata dan berkeadilan. Lalu apa penyebabnya? Ternyata selama ini bukan kantor pusat yang menggaji para pendeta yang ditempatkan di huria. Jemaat setempatlah yang bertanggung jawab menyediakannya. Konsekuensinya, hanya jemaat yang mampulah yang diprioritaskan mendapat penempatan pendeta.

Memang benar, setiap huria mengirimkan pelean II dan Na Marboho ke Kantor Pusat. Persembahan tersebut digunakan untuk gaji dan kegiatan operasional Kantor Pusat serta lembaga-lembaga yang ada. Jadi tak ada alokasinya untuk menggaji pendeta yang ditempatkan di jemaat. Hal itu ternyata yang menjadi alasan utama mengapa distribusi pendeta terkesan hanya untuk huria di perkotaan dan pedesaan yang sudah mampu.

Konflik Akibat Mutasi

Masalah lain yang disukai jemaat adalah ketika ada kisruh saat mutasi pendeta. Acapkali terjadi pro kontra, yang mendukung dan menolak, lalu unjuk rasa, hingga adang mengadang saat ibadah. Sungguh memalukan sebenarnya untuk gereja besar yang telah memiliki pengalaman ratusan tahun, tetapi masih rentan konflik akibat mutasi pendeta.

Kajian yang dilakukan HKBP mengungkapkan adanya peran pendeta dalam konflik tersebut. Ada sebagian kecil memprovokasi jemaat dan sintua agar melakukan gerakan mendukungnya. Penyebabnya mungkin karena dimutasi dari tempat basah ke tempat kering. Istilah kering dan basah ini harus dipahami sebagai konsekuensi gaji dan belanja pendeta dari jemaat setempat. Tentu saja kemampuan huria berbeda-beda, sehingga memunculkan persepsi ada yang basah, dan ada yang kering.

Tak bisa diabaikan, belum tentu pendeta yang dimutasi yang menolak SK Kantor Pusat. Kadang jemaat yang ingin mempertahankan pendetanya. Dalam penilaian mereka, pendeta tertentu sangat tepat dan baik pelayanannya, sehingga ketika ada penolakan ketika mutasi diterbitkan. Jemaat menggunakan bargaining ke Kantor Pusat, dengan dalih mereka yang membiayai pendetanya. Kadang ada jemaat yang memilih menolak penempatan pendeta baru.

Sentralisasi Keuangan

Pimpinan HKBP saat ini sedang gencar menyosialisasikan rencana meluncurkan sentralisasi keuangan. Diharapkan rencana ini akan ditetapkan dalam Sinode 24-27 Oktober 2022 mendatang. Sebenarnya sudah pernah disetujui dalam Sinode 2018 lalu, namun belum direalisasikan. Jika tak ada halangan, Pimpinan HKBP berkeinginan pada Januari 2023 sudah dilaunching.

Aturan sentralisasi tersebut akan diakomodasi dalam amandemen keempat Aturan Peraturan (AP). Turunannya dijabarkan dalam, Peraturan Pelaksanaan Keuangan (PPKU) dan Peraturan Kepersonalian HKBP. Ada muatan tentang apresiasi dan sanksi (punishment dan reward) untuk menjamin aturan sentralisasi ini bisa berjalan dengan baik.

Apa rupanya sentralisasi keuangan ini dan apakah bisa menjawab masalah yang dikemukakan di awal tulisan ini? Nanti setiap huria akan ada tanggung menyetorkan dalam persentase tertentu ke Kantor Pusat. Dana tersebut yang kemudian dikelola untuk membiayai semua kebutuhan HKBP dari Kantor Pusat, lembaga hingga huria-huria. Jadi untuk gaji dan belanja pendeta bukan lagi huria setempat yang membiayai.

Dengan demikian Kantor Pusat akan memiliki keleluasan untuk mengirimkan pendeta-pendeta ke huria-huria yang dinilai memerlukan. Di sini akan ada unsur pemerataan dan keadilan, walau tak semudah membalikkan telapak tangan. Secara bertahap dan berkelanjutan, huria-huria akan terlayani. Demikian juga jika misi di luar HKBP, Pimpinan sudah bisa memberi tugas sebab dana sudah terpusat dan mereka yang mengelola.

Jika rencana ini berjalan, maka potensi konflik akibat mutasi bisa diminimalisir. Tak ada jaminan akan otomatis tak ada lagi konlik. Sebab bukan faktor tunggal penyebab kisruh mutasi. Namun Pimpinan sudah berwenang mengatur pendeta, sebab mereka yang menempatkan dan menggajinya. Paling tidak potensi konflik bisa diminimalkan dari sisi pendeta yang menolak mutasi.

Rencana ini besar dan memerlukan dukungan semua pihak. Tak mungkin hanya Kantor Pusat sendiri yang menjalannya. Diharapkan dalam Sinode 2022 ini ditetapkan dan kemudian dibuat dalam aturan pelaksanaan, sehinggal Januari 2023 bisa diterapkan. Meski begitu perlu dipastikan akuntabilitas sentralisasi keuangan, sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan kemudian melahirkan trust (kepercayaan) dari jemaat, semua partohonan dan mitra HKBP.

Sesuai penjabaran Pimpinan dalam sosialiasi di berbagai distrik, dan dalam buku yang dibagikan, disebutkan ada penggunaan website dalam pengumpulan database, dan bisa sekaligus menjadi sarana monitoring evaluasi (monev) di semua tingkatan pelayanan. Manfaat yang disebutkan antara lain, pertama, menjawab persoalan mutasi, kesejahteraan, dana pensiun, dan asuransi kesehatan. Kedua, memudahkan mengatur roda organisasi dan menguranhi konflik kepentingan dalam susun anggaran.

Ketiga, mendorong pelayan imovatif dan kreatif dalam pelayanan dan tingkat kemandirian karena sudah fokus. Keempat, mengurangi konflik kepentingan pimpinan dalam penempatan pelayan. Kelima, mendorong terwujudnya kesatuan HKBP. Keenam, sistem sudah bankable (mengadopsi dan kompatibel dengan sistem perbankan).

Kekhawatiran Menjadi Alat Kontrol

Di balik gaung sentralisasi keuangan ini, tak bisa dipungkiri kekhawatiran akan dimanfaatkan dalam mengontrol pendeta. Sebab kini pendeta bisa dengan mudah dimutasi, karena penggajian dan belanja sudah dari Kantor Pusat. Misal, jika ada pendeta yang kurang disukai, maka mutasi menjadi alat yang efektif yang bisa menjadi subjektif.

Itu sebabnya, hal yang mendesak untuk dilakukan adalah membangun sistem mutasi yang akuntabel di HKBP. Sebaiknya ada parameter yang terukur dalam memutasi seorang pendeta. Sebaiknya Kantor Pusat melalui Biro Personalia memiliki database lengkap pendeta, mulai dari masa kerja, rekam jejak, keluarga, pendidikan anak dan lain-lain, yang menjadi dasar memutasi nantinya.

Dalam aturan tersebut diharapkan memberi ruang penjelasan bagi seseorang jika hendak dimutasi. Meski begitu dalam situasi tertentu, tetap ada ruang diskresi (kebijakan) bagi Pimpinan dlaam melakukan mutasi. Jika dibuat dalam aturan yang jelas, semua pihak bisa memahaminya. Mutasi tak lagi menjadi sumber konflik di huria-huria, selain masalah penggajian yang sudah bisa diatasi dengan sentralisasi keuangan.

Selain itu, sentralisasi keuangan tak boleh menghapus sama sekali desentralisasi huria-huria. Mereka tetap harus diberi ruang untuk mengembangkan otonomi. Tentu saja bisa ditentukan dalam aturan peraturan, hal-hal mana yang menjadi wilayah dan kewenangan desentralisasi huria. Jadi kultur desentralisasi tetap dipertahankan dalam batasan yang disepakati.

Lalu bagaimana dengan kekhawatiran tentang ketidakjujuran dalam melaporkan penerimaan huria? Bagaimana mereka jika nanti ada dua, bahkan tiga buku keuangan? Tentu peluang terjadinya kecurangan bisa saja terjadi. Selain mengandalkan audit di semua tingkatan pelayanan, pelibatan atau partisipasi jemaat dalam pengawasan sangat penting. Website jangan diandalkan sebagai sumber database satu-satunya. Sistem ini bisa dibangun asal ada komitmen dari semua Pimpinan, pendeta, partohonan dan semua jemaat.

Jangan apriori dulu dengan rencana sentralisasi keuangan. Terlalu prematur untuk menolak! Mari dukung dan awasi bersama-sama. Semoga tujuan mulia di dalamnya bisa terwujud, membuat HKBP yang lebih baik di masa depan. (*).

Artikel ini telah terbit di Majalah Immanuel HKBP edisi Juli 2022

Penulis
: Bantors Sihombing

Tag: