Oleh: Bantors Sihombing
Teori trickle down economics telah lama menjadi panduan banyak negara dalam menjalankan kebijakan pembangunan. Kegiatan ekonomi yang lebih besar diharapkan dapat memberikan efek terhadap kegiatan ekonomi di bawahnya yang memiliki lingkup yang lebih kecil. Indonesia termasuk negara yang menerapkannya di Orde Baru dan dalam praktik masih berlanjut hingga saat ini.
Segelintir orang yang disebut konglomerat atau sekarang disebut sebagai investor (pemilik modal), mendapat fasilitas besar dari negara. Antara lain, mendapat kemudahan mendapat kredit bank, pemotongan pajak, upah murah, dan berbagai insentif. Diharapkan mereka menggunakan fasilitas tersebut untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Dengan demikian diharapkan kekayaan mereka akan menetes ke masyarakat banyak.
Ternyata efek menetes ke bawah (trickle down effect) yang diharapkan tidak tercipta. Malah terjadi justru tidak adanya pemerataan dan melahirkan disparitas kesejahteraan tinggi sehingga jurang si kaya dan si miskin terlampau dalam. Orang kaya makin kaya dan orang miskin makin miskin! Itu yang dialami mayoritas warga Indonesia termasuk yang ada di Tapanuli.
Tak heran, Tanah Batak selalu masuk dalam peta kemiskinan. Bertahun-tahun 'gelar' ini tak lekang, meski sudah banyak program dilakukan. Warga Batak hanya menjadi objek dan penonton dalam berbagai dinamika pembangunan di negeri ini. Kebijakan yang kurang tepat memang menciptakan hasil yang tak jelas juga.
Orang Batak dicekcoki dengan konsep pembangunan yang asing bagi mereka, kadang malah tak sesuai dengan potensi yang ada, sehingga gamang dan gagap. Tanpa disadari kebiasaan yang baik yang diwarisi secara turun temurun malah terkikis. Orang Batak banyak yang tercabut dari akar budayanya. Solidaritas, keramahtamahan dan gotong royong, misalnya, berubah menjadi egoisme, materialisme dan pragmatisme. Hal ini berdampak luas terhadap capaian pembangunan, yang lebih sering gagal. Angka kemiskinan juga masih tetap tinggi dan kesenjangan makin parah.
Amerika Serikat yang sebelumnya kukuh dengan teori trickle down economics, mendadak balik arah. Presiden Joe Biden akhir bulan April lalu mengajukan kebijakan ekonomi yang berbeda dari para pendahulunya. "Sudah waktunya untuk menumbuhkan ekonomi dari bawah dan tengah," kata Biden dalam pidato pertamanya, pada sesi gabungan di Kongres.
Hal ini menjadi momentum penting untuk menegakkan kembali model pembangunan berbasis kearifan lokal demi kesejahteraan masyaratnya. Orang Batak yang memiliki banyak kearifan lokal perlu direvitalisasi kembali. Pemerintah di Tapanuli mesti berani memanfaatkan kewenangan yang diberikan otonomi daerah untuk memaksimalkan pembangunan berbasis kearifan lokal.
Pemberdayaan Berbasis Kearifan Lokal
Tujuan pembangunan yang tak boleh dilupakan adalah membuat rakyatnya sejahtera. Pembangunan pada hakekatnya merupakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sehebat apapun pembangunan, tetap akan gagal jika tak mampu menyejahterakan warganya. Itu sebabnya, pendekatan bottom up (dari bawah ke atas) harus dipraktikkan secara nyata, bukan sekadar teori. Rakyat yang harus ditanya apa kebutuhannya, potensi yang dimilikinya dan mereka sendiri yang menjadi pelaku perubahan tersebut.
Pemberdayaan berbasis kearifan lokal merupakan solusi yang tepat untuk menyejahterakan rakyat di Tapanuli. Secara teori, hal ini sebenarnya sudah dipahami para pembuat kebijakan, hanya dalam tataran implementasi kurang serius. Pemberdayaan hanya sering hanya menjadi istilah di kertas dan retorika, sehingga sering diplesetkan menjadi memperdaya masyarakat.
Menurut Sibarani (2012) dalam buku Hermanto Suaib menjelaskan kearifan lokal adalah kebijakan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam suatu ekosistem masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola prilaku manusia sehari-hari, baik terhadap lingkungan.
Sementara pemberdayaan menurut Robinson (1994), merupakan proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sementara, Ife (1995) mengemukakan pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan,memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatanpenekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002).
Revitalisasi Kearifan Lokal
Masyarakat Batak memiliki kearifan-kearifan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyatnya. Infiltrasi budaya asing dan lemahnya ketahanan budaya lokal yang menggerus nilai-nilai tersebut. Itu sebabnya harus ada revitalisasi kearifan lokal tersebut, atau dalam bahasa yang lain, mesti dibumikan agar menjadi budaya keseharian kembali. Terry Wilson menyarankan empat tahapan dalam proses pemberdayaan komunitas.
Pertama, penyadaran (awakening): tahap menyadarkan masyarakat akan kemampuan yang dimiliki, serta rencana dan harapan akan kondisi yang lebih baik. Kedua, pemahaman (understanding): pemberian paham dan persepsi baru tentang siapa mereka, apa aspirasi mereka, dan keadaan umum lainnya. Ketiga, memanfaatkan (harnessing): memutuskan untuk menggunakannya bagi kepentingan komunitasnya. Keempat, menggunakan keterampilan (using): menggunakan kemampuan pemberdayaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Pastor Dr Herman Nainggolan, OFMCap dalam Seminar Tahun Keluarga HKBP Distrik X Medan-Aceh, 21 Mei 2016 di Hotel Danau Toba, Medan menyebutkan beberapa nilai budaya Batak yang merupakan kearifan lokal untuk digali dan dilestarikan.Berikut antara lain disampaikannya, pertama, pantun hangoluan, tois hamagoan. Artinya, bila kita berperilaku sopan dan santun akan hidup. Sebaliknya bila kita berperilaku acuh tak acuh terhadap orang akan menerima bencana yang menjurus kematian. Kedua, jolo nidilat bibir, asa nidok hata. Artinya, setiap kita hendak mengucapkan kata-kata supaya dipikirkan lebih dahulu. Apakah kata-kata, gagasan, atau pendapat itu layak disampaikan atau tidak? Kata-kata yang telah diucapkan tidak bisa ditarik kembali. Ketiga, nilangka tu jolo, sinarihan tu pudi. Artinya, setiap kita hendak melangkah maju harus melihat ke belakang. Kita jangan sampai salah langkah, terutama menyangkut visi dan misi yang sudah ditentukan sebelumnya. Keempat, tinallik bulung sihupi, pinarsaong bulung sihala. Unang sumolsol tu pudi ndada sipasingot soada. Artinya, jangan menyesal di kemudian hari karena sudah dinasihati sebelumnya. Ada cukup banyak pengajaran sebelumnya untuk dipedomani dalam hidup. Ada banyak pengalaman hidup, yang mengajar kita untuk lebih bijaksana dalam hidup.
Kearifan lokal lainnya yang mendesak direvitalisasi adalah budaya gotong royong (marharoan). Istilah beragam di beberapa lokasi, marsirumpa atau marsiadapari. Maknanya sama, yakni gotong royong dalam menyelesaikan masalah bersama. Kearifan lokal lainnya adalah kebiasaan duduk bersama dalam membahas berbagai persoalan hidup. Partungkoan merupakan wadah komunikasi yang sudah mewaris dari leluhur orang Batak. Tak ada yang lebih tinggi, semua setara dalam menyampaikan pendapat.
Memaksimalkan Potensi Lokal
Pemberdayaan berbasis kearifan lokal tidak hanya menyentuh nilai-nilai dari budaya yang diwariskan secara turun temurun. Sasarannya juga harus tepat dengan potensi lokal. Perlu persamaan persepsi berdasarkan data dan fakta, bukan asumsi, sebenarnya suatu daerah apa potensi yang dimilikinya. Jadi tak ada lagi program pembangunan, ternyata tak cocok dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
Berikut contoh potensi lokal di Tanah Batak, pertama, pertanian. Setiap daerah memiliki kekhasan dan keunggulan. Kopi misalnya sudah berkembang dengan baik, hanya perlu pembinaan di hilir, bagaimana memiliki nilai tambah, dengan pengolahan yang lebih baik. Namun bagaimana dengan pengembangan kemenyan (haminjon), gambir, mangga, dan andaliman yang merupakan bumbu khas yang tak ada di daerah lain. Bukan berarti kita tertutup dengan jenis tanaman lain yang mungkin cocok dikembangkan di Tapanuli. Sebaiknya diprioritaskan dulu komoditi pertanian yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal. HKBP di awal pelayanannya menjadikan gereja sebagai pargodungan yang menjadi tempat jemaatnya belajar banyak hal, seperti pertanian dan pertukangan. Kenapa tradisi yang baik ini menjadi hilang?
Potensi lainnya di bidang pariwisata adalah membangun homestay dalam arti sebenarnya, yakni rumah warga menjadi tempat menginap pelancong. Bukan rumah yang dibangun khusus untuk tempat menginap turis. Sebab rumah orang Batak khas dan budaya partamue( suka menerima tamu) ada dalam diri orang Batak. Tinggal melengkapi rumah tersebut dengan fasilitas standar seperti toilet, dan kamar tidur yang bersih.
Ecovillage Silimalombu, Samosir, yang mengelola homestay termasuk berhasil menggali dan mengembangkan kearifan serta potensi lokal. Mereka telah berhasil membuat mango wine dari mangga Danau Toba, bubuk kopi kualitas tinggi dari biji kopi lokal, cokelat dari biji kakao lokal, minyak kemiri dari kemiri lokal, teh detoksifikasi dari daun sirsak, pizza dengan saos andaliman, dan lain-lain. Produk-produk ini bernilai ekonomis tinggi bagi pembuatnya.
Pemerintah sebaiknya membudayakan penelitian dalam membuat program pembangunan. Jangan ada lagi pembangunan yang gagal dan salah kaprah. Itu sebabnya masyarakat lokal harus dijadikan sebagai pelaku utama sejak perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasanya. Dengan demikian pembangunan itu akan menyejahterakan warganya. (*)
NB. Tulisan ini dimuat di Majalah Immanuel edisi Juni 2021