Mungkinkah Membangun ‘Kesesamaan’ Tanpa ‘Titik Temu’?

Bantors Bantors
Mungkinkah Membangun ‘Kesesamaan’ Tanpa ‘Titik Temu’?
Dok Pribadi
Kebersamaan tanpa titik temu

Oleh: Bantors Sihombing

Bagaimana membangun kebersamaan selalu menjadi tema populer dalam hidup bersama, termasuk dalam bergereja. Ada banyak teori dan cara yang ditawarkan para pakar tentang strategi membangun kebersamaan. Sebab semua sepakat, tanpa adanya kebersamaan, maka sebaik apapun tujuan dibuat, akan sulit diwujudkan.

Manusia sejak lahir sudah berbeda satu sama lain. Jangankan yang beda marga, suku dan bangsa, mereka yang satu ayah dan ibu saja, tetap ada yang tak sama. Bahkan kembar identik saja, pasti ada perbedaan yang satu dengan yang lain. Bukan hanya dari tanda-tanda fisik saja, bisa berbeda dari cara berpikir, merespons dan berbicara.

Bukan hal yang mudah untuk membangun kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Mudah diucapkan untuk membangun kebersamaan, namun merawat dan meningkatkannya tidaklah gampang. Memulainya saja sudah sulit, terutama jika sebelumnya sudah ada konflik di antara jemaat, maupun dengan pengurus gereja.

Apalagi gereja bukanlah organisasi komando, yang bisa dijalankan dengan main perintah, dan jika tak dilaksanakan didisplin dengan keras. Pendeta dan pelayanan lainnya mungkin tunduk terhadap apa yang diinginkan atasan. Sebab ada berbagai muatan kepentingan di antara mereka, seperti kewenangan memutasi (pindah tugas), mempromosikan (naik ‘jabatan’) dan mendemosi (menurunkan ‘jabatan’).

Lalu bagaimana dengan jemaat? Hubungan gereja dengan mereka bisa longgar, namun bisa juga terikat kuat, tergantung kebersamaan yang telah terbentuk. Relasi gereja dengan jemaatnya bersifat sukarela. Gereja tak bisa semena-mena memaksa mereka untuk mematuhi seratus persen apa yang telah diputuskan pimpinan. Manakala jemaat merasa terintimidasi, bisa saja dia memilih tidak aktif, atau bahkan pindah ke gereja lain.

Titik Temu

Teori terkenal yang sering disampaikan sebagai solusi dalam membangun kebersamaan adalah mencari ‘titik temu’. Jika sudah ada titik temu, maka langkah selanjutnya akan lebih mudah. Tinggal memperkuat persamaan, dan meminimalkan perbedaan. Begitulah pendapat teori ini yang banyak dikutip dalam karya ilmiah, seminar-seminar dan diajarkan di ruang kuliah.

Janganlah dalam konteks membangun kebersamaan dalam suatu gereja, ‘titik temu’ dijadikan cara untuk toleransi antarumat beragama. Raimundo Pannikar, Cak Nur dan Iron Sarira misalnya membahas ‘titik temu’ sebagai solusi dalam kepelbagaian. Sebeda-bedanya manusia, pastilah ada kesamaan yang akan mempersatukan. ‘Titik temu’ itulah yang akan bermanfaat membangun kebersamaan.

Paham ini juga digunakan dalam penginjilan antarbudaya untuk menjangkau suatu suku. Para teolog dan penginjil menggali apa saja dalam etnis tersebut yang memiliki keterkaitan dengan Injil. Jika sudah ditemukan, maka ‘titik temu’ akan menjadi sarana untuk mengajak komunitas tersebut untuk percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Don Richardson, misalnya menuliskan dalam bukunya berjudul "Peace Child" (Anak Perdamaian) tentang bagaimana menginjili Suku Sawi di Papua.

Nah, HKBP banyak menerapkan ‘titik temu’ ini dalam membangun kebersamaan. Memang setelah diidentifikasi, ada banyak persamaan pimpinan, pendeta, pelayan gereja dan jemaat. ‘Titik temu’ yang menonjol adalah budaya Batak. Sesuai namanya, yang bergabung ke HKBP adalah mayoritas Kristen Batak. Dari tujuh unsur budaya yang diperkenalkan antropolog Koentjaraningrat, ada beberapa dari kebudayaan Batak yang dimanfaatkan gereja dalam rangka membangun kebersamaan.

Lihatlah dalam hampir di semua pesta di HKBP, baik lokal, maupun yang dibuat dengan tema tahunan secara sinode, diisi dengan metode yang sama. Selain koor, cerdas tangkas Alkitab dan olahraga, maka ada atraksi budaya yang dipertandingkan atau disajikan di hadapan jemaat. Memang selama pesta terkesan kompak, ramai dan ada kebersamaan? Bagaimana setelah ‘pesta’ usai, apakah kebersamaan berlanjut atau malah ada perpecahan baru akibat ketidakpuasan terhadap kegiatan tersebut?

Memang perlu terlalu dini menilai kegiatan ‘pesta budaya’ tersebut tidak berdampak terhadap terbangunnya kebersamaan. Namun prematur juga menyimpulkan ternyata metode tersebut efektif sebagai model untuk seluruh gereja HKBP untuk membangun kebersamaan. Perlu penelitian yang serius untuk membuktikan pendapat ini. Pimpinan sebaiknya melibatkan akademisi dalam mengkajinya, selain Balitbang yang telah ada. Apapun hasilnya bisa menjadi acuan dalam membuat kegiatan gereja dalam rangka membangun kebersamaan ke depan. Jika efektif, ayo jalankan, namun jika ternyata hasilnya sebaliknya, maka para pendeta dan pelayan harus berani melakukan koreksi!

Antitesis ‘Titik Temu’

Benarkah ‘titik temu’ satu-satunya ikhtiar untuk membangun kebersamaan? Alkitab telah mencatat kisah orang Samaria yang baik hati. Ini bisa menjadi antitesis dari paham yang mengagungkan ‘titik temu’. Cerita yang sering disampaikan di Sekolah Minggu tidak secara detail disampaikan dalam tulisan ini, hanya poin utama saja. Meski hanya perumpamaan, tampak jelas antara korban yang ditolong dengan penolong, tidak ada ‘titik temu’, sebagaimana fakta cerita. Orang Samaria bagi orang Israel bukanlah teman dengan alasan etnisitas dan subjektivitas.

Kisah itu diawali percakapan ahli Taurat ketika berdialog dengan Tuhan Yesus dalam Lukas 10:25-37. Dia bertanya, "Siapa sesamaku?" Lalu diceritakan perumpamaan tentang seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho. Dia dirampok, dilukai dan ditinggalkan setengah mati. Lalu lewat imam, tak mau menolong. Begitu juga Lewi, lewat saja. Baru ketika Samaria lewat, mau menolong dan merawatnya.

Imam dalam agama Yahudi adalah dari suku Lewi (Ulangan 22:5). Jadi orang yang datang pertama dengan kedua sebenarnya dari golongan yang sama. Mereka adalah hamba Tuhan di masa kini. Bisa melayani di gereja, lembaga, maupun persekutuan. Namun mereka gagal menjadi sesama bagi orang yang setengah mati karena dirampok.

Penolongnya justru orang Samaria, yang dijauhi orang Yahudi. Yohanes 4:3 mencatat orang Yahudi tak bergaul dengan orang Samaria. Sebab orang Samaria adalah keturunan orang Yahudi yang menikah dengan non-Yahudi. Jadi mereka tak dianggap orang-orang Yahudi yang merasa dirinya paling benar. Di akhir cerita, Yesus bertanya kepada ahli Taurat tersebut siapa sesama orang yang dirampok tersebut? Lukas 10:37 (TB) Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Sesama bagi orang yang telah sembuh dari setengah mati tersebut adalah orang Samaria yang menolong, berkorban, berbelas kasihan dan mengasihinya.

Menjadi sesama bagi seseorang (yang pasti akan terbangun kebersamaan) ternyata bisa tanpa ‘titik temu’ yang bersifat etnis, kesamaan identitas dan sektoral. Kasih menjadi poin utama dalam merajut ‘kesesamaan’, bukan sekadar kebersamaan. Menjadi sesama bagi manusia lainnya merupakan pesan utama dari inti Hukum Taurat, setelah mengasihi Tuhan. Caranya jelas dalam kisah Samaria yang baik hati, kasih itu bukan hanya di mulut saja, dan teori belaka, namun harus ‘pergi dan perbuatlah demikian’.

Implementasi Kasih Membangun ‘Kesesamaan’

Pesan Tuhan Yesus sudah jelas dan tak perlu ditafsirkan, kebersamaan akan terbangun jika semua orang dalam gereja menganggap orang lain adalah sesamanya. Semua pihak termasuk pendeta dan para pengerja gereja serta jemaat perlu introspeksi, ‘apakah diriku telah menjadi sesama bagi orang lain?’ Pertanyaan jangan dibalik dulu menjadi, ‘apakah orang lain telah menjadi sesamaku?’

Implementasinya harus berangkat dari diri kita. Sebagaimana saya tuliskan dalam tulisan yang juga dimuat di Majalah Immanuel, keteladanan harus dimulai dari ‘kepala’. Siapa ‘kepala’? Mereka adalah pimpinan, para pendeta, pelayan lainnya termasuk sintua. Semua harus komit menjadi ‘sesama’ bagi para pelayan dan teristimewa para jemaat.

Itu sebabnya ‘kesesamaan’ tak lepas dari diakoni dalam arti luas. Bukan hanya berkunjung manakala ada sakit atau kemalangan. Tetapi secara holistik, menjangkau jemaat yang ‘lemah’ dan ‘ tak berdaya’, sehingga gereja menjadi sesama bagi mereka. Sentuh mereka dengan kasih. Dengan demikian ‘kesesamaan’ akan terbentuk, dan makin lama mendalam menjadi solid.

Waloddi Weibull menemukan teori the Weakest Link. Teori yang menjadi dasar dari berbagai perhitungan statistik dalam merancang struktur bangunan dan mesin ini diterapkan secara luas dalam berbagai peralatan militer, bendungan, pipa minyak, dan gas. Secara mudah, teori ini menjelaskan bahwa kekuatan suatu rantai terletak pada mata rantai yang paling lemah. Bendungan yang paling kokoh pun akan hancur bila ada satu titik terlemah di bendungan itu yang bocor.

Ternyata tori ini kemudian dikembangkan dalam berbagai permasalahan sosial. Mata rantai terlemah adalah anggota jemaat yang ‘papa’ dan termarjinalkan dengan berbagai alasan. Gereja harus hadir memberi penguatan bagi mereka. Jika yang lemah ini menjadi kuat, maka yang lain akan menjadi lebih kuat. Bagaimana cara menguatkannya, ya dengan implementasi kasih secara nyata.(*)

Artikel ini telah terbit di Majalah Immanuel HKBP edisi Februari 2022

Penulis
: Bantors Sihombing

Tag: