Kami memang keluarga guru! Tentu saja ada alasan mengapa kukatakan begitu. Bapakku adalah guru SD. Setelah lulus dari Balige, kemudian ditempatkan di Parongil, jauh dari kampung halamannya, di Tipang. Dia lama dikenal sebagai guru kelas di SD Center Parongil atau SD No 1, yang ada di Jl Sisingamangaraja, sebelum mutasi ke SD Inpres Bongkaras. Beberapa bulan sebelum pensiun, bapakku meninggal ketika menjabat sebagai kepala sekolah di sana.
Lalu kakakku nomor satu, Alida Wastina Sihombing, dimasukkan ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan lulus. Namun jalan hidup ternyata berbeda, bukan malah menjadi guru, 'karier'-nya menjadi ibu rumah tangga yang sukses. Tiga anaknya, semua berhasil diasuhnya menjadi PNS begitu lulus sekolah. Kakak kedua, Elly Marwaty Sihombing, naik satu tingkat dari bapakku, dia menjadi guru SMP begitu lulus dari IKIP Medan (sekarang Unimed).
Kakakku nomor tiga, Armin Sihombing, juga masuk SPG di Sidikalang. Hidup tidaklah bisa diatur sesuka hati karena keinginan manusia saja. Kakakku ini ternyata tidak menyelesaikan studinya, dan memilih pergi merantau ke Pulau Jawa, yang baginya lebih menarik daripada menjadi seorang guru.
Dua adek perempuanku, Helen Sihombing dan Leni Sihombing, setelah lulus kuliah, mereka menjadi guru. Helen menjadi guru SMA, berbeda dengan dua saudara perempuannya yang lain. Leni malah menjadi guru SD, sama seperti bapak kami. Walau bedanya, tempatnya Leni mengabdi, sudah kualifikasi sekolah internasional.
Berarti dari 8 kami bersaudara, lima perempuan anak bapak dan mamak, didorong menjadi guru. Walau akhirnya, hanya 3 orang yang akhirnya berkarier sebagai guru. Akhir tahun lalu, kakakku nomor dua, Elly sudah pensiun. Jadi tinggal Helen dan Leni yang masih aktif menjadi guru.
Tak Bercita-cita Menjadi Guru
Meski lahir dari keluarga guru, tak ada dalam benakku akan mengikuti jejak bapakku. Aku malah ingin menjadi seorang insinyur, dan tak kesampaian karena lulusnya malah di Fisipol USU Medan. Apalagi ketika kuliahku memasuki semester dua, pupus rencanaku ujian lagi untuk masuk jurusan teknik, karena bapak dan mamakku meninggal dunia dalam rentang waktu tiga bulan.
Tak ada pilihan, selain melanjutkan kuliah sebagai anak sosial. Ketika kuliah, ada beberapa kesempatan untuk mengajar di bimbel dan sekolah. Saat itu, bagiku itu bukan panggilan, melainkan hanya cara untuk bertahan hidup (surviival), menghasilkan uang untuk kebutuhanku.
Begitu juga saat membantu dosenku sebagai asisten tak resmi dalam mengajar. Mengapa tak resmi? Sebab hingga berhenti membantu mengajar, tak mendapat SK dari kampus, seperti rekan yang lain yang menjadi asisten dosen. Meski 'tak resmi', tak mengurangi semangatku mengajar. Mungkin karena ada uangnya juga, dan saat itu belum ada dorongan kuat berkarier sebagai dosen.
Tahun 1998, aku malah terlibat di desa, sebagai SP3 (Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan), yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Begitu program berakhir di tahun 2000, aku melamar ke PT Sinar Indonesia Baru (SIB), dan berkarier sebagai wartawan. Saat itu di Adiankoting, Tapanuli Utara, kulihat ada iklan penerimaan wartawan. Dunia jurnalistik, yang tak pernah kubayangkan menjadi bagian dari hidupku, sebab tak pernah belajar secara formal sebagai wartawan.
Saat bekerja di Tribun Medan tahun 2010-2012, kumanfaatkan waktu yang ada untuk kuliah S2. Kali ini kuambil jurusan Komunikasi, karena pikiranku supaya sesuai dengan pekerjaan sebagai wartawan. Tahun 2013, setelah lulus, aku mulai mengajar di kampus dan membangun jaringan.
Keputusanku menjadi dosen, karena kutemukan ada passion-ku di sana. Gajinya memang tak besar, tetapi terasa begitu menyenangkan menjadi pengajar. Menjadi wartawan dan dosen, ternyata bisa saling mendukung, sebagai praktisi dan akademisi. Di kampuslah kuketahui tugas dosen bukan hanya mengajar mahasiswa saja, tetapi masih ada dua darma yang lain, yakni melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PKM).
Hingga kini, aku masih tetap mengajar mahasiswa. Kumerasakan ada tantangan baru di setiap semester baru. Tidak tahu entah sampai kapan aku bisa menekuni profesi ini. Aku percaya, dalam hidup ini tidak ada yang kebetulan. Jika sesuatu diizinkan Tuhan terjadi, berarti ada maksudNya bagi kita.(*)