Oleh: Bantors Sihombing
Suatu pagi di tahun 2003, saya dikabari Wali Kota Pematangsiantar Drs Marim Purba, tentang rencana kunjungan delegasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) ke India. Ada beberapa agenda, antara lain membahas kerjasama ekonomi, pendidikan, dan pariwisata. Waktu itu gubernurnya adalah T Rizal Nurdin (dua tahun kemudian yakni pada 2005 meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat Mandala di Medan).
Marim Purba mengajakku untuk meliput kunjungan tersebut. Saya agak gugup menjawabnya, sebab belum pernah memiliki pengalaman meliput ke luar negeri. Apalagi kemampuanku berbahasa Inggris sangat terbatas. Bagaimana nanti wawancara dengan orang India, yang hanya kukenal dalam fim-film Bollywood.
Bukan wartawan namanya, jika tak berani menghadapi tantangan. Saya minta waktu untuk meminta izin dulu ke Pemimpin Umum Harian SIB DR GM Panggabean (meninggal dunia tahun 2011). Surat permohonan kukirim melalui fax, dan hari itu juga, dibalas dan disetujui.
Persetujuan ini kusampaikan ke Marim Purba, dan baru sadar ada masalah berikutnya. Saya ternyata belum pernah memiliki paspor, dan itu diperlukan mengurus visa ke Kedubes India di Jakarta. Untunglah Imigrasi sangat kooperatif, dan paspor bisa selesai tepat waktu.
Ketika perjalanan dari Medan ke India, dan transit di Singapura, saya baru tahu ternyata gubernur tak jadi ikut. Tampak Wakil Gubernur Sumut Lundu Panjaitan, dan beberapa kepala daerah. Antara lain, Walikota Pematangsiantar Marim Purba, Bupati Simalungun John Hugo Silalahi, Bupati Dairi Master Tumanggor, dan Bupati Labuhan Batu HT Milwan. Begitu juga ada anggota DPRD Sumut, seperti Timur Panjaitan. Beberapa pengusaha dari Kadin Sumut terlihat di antara rombongan.
Saya ketemu beberapa rekan wartawan seperti Denny Batubara yang saat itu masih bertugas di MetroTv, dan ada juga dari kru TVRI Medan. Kehadiran beberapa wartawan, membuatku merasa nyaman. Sebab nanti akan ada teman berbagi informasi dan bahan liputan.
Kegiatan di India teryata sangat padat. Hari-hari penuh kegiatan, dari pameran, pertemuan dengan pejabat setempat, calon investor, dan masyarakat Indonesia yang telah lama bermukim di sana. Ada beberapa industri yang kuingat dikunjungi rombongan, seperti Bajaj, yang memproduksi mobil, sepeda motor dan bemo (roda tiga), dan Tata Motor, yang truknya banyak dipakai tentara di Indonesia.
Delegasi diajak pemerintah India ke pusat perfilman mereka, yakni Mumbay (dulu dikenal dengan nama Bombay). Bayanganku akan ketemu aktor tampan dan artis cantik India, ternyata sirna. Studio besar tersebut sedang kosong, dan tak ada syuting, sehingga tak terlihat orang film yang bisa ditemui.
Di hari-hari terakhir kunjungan, ada informasi delegasi akan berwisata sejenak ke satu dari tujuh keajaiban dunia, yakni Taj Mahal. Rencana ini agak mendadak, sebab ternyata tak semua anggota rombongan yang ikut. Kami naik pesawat dari New Delhi ke Agra, yang berada di Utara India.
Dari bandara, rombongan naik bus ke Taj Mahal. Bangunan megah masih berdiri kokoh dan asri, sebab pengelola objek wisata tersebut, menjaganya dari berbagai getaran akibat kendaraan. Itu sebabnya, parkir terletak jauh dari kompleks Taj Mahal.
Ada sekitar 8 juta pengunjung setiap tahunnya ke Taj Mahal. Saya melihat begitu banyak orang, dan di halaman masih bebas menggunakan kamera. Begitu mau masuk ke dalam, wajib membuka sepatu, dan tak boleh membawa kamera.
Misteri Taj Mahal akhirnya terkuak samaku. Sebelumnya, kuberpikir tempat itu adalah istana yang megah. Ternyata, Taj Mahal adalah kuburan yang dipersembahkan seorang Raja sebagai bukti cinta kepada istrinya.Bangunan itu didirikan Kaisar Mughal Shah Jahan sebagai mausoleum untuk istri tercintanya, Mumtaz Mahal, yang meninggal dunia saat melahirkan.
Bangunan dengan luas mencapai 42 hektare itu dilengkapi dengan kubah besar setinggi 73 meter dikelilingi 4 kubah yang lebih kecil di sekitarnya. Pembangunan Taj Mahal sekitar 22 tahun. Pembangunan Taj Mahal dimulai pada tahun 1631 dan baru selesai di tahun 1653.
Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, kisah cinta Taj Mahal mengisi pikiranku. Terus terang, saya mengagumi keindahan arsitektur Taj Mahal, tetapi tak memiliki keinginan lagi untuk kembali ke sana sebagai wisatawan. Ternyata cinta begitu dahsyat sehingga bisa membuat bangunan semegah itu.
Namun, kupikir apalah gunanya jika yang kita cintai itu sudah meninggal dunia. Tunjukkanlah bukti cintamu ketika mereka yang kau sayangi masih hidup. Itu sebabnya begitu letakkan koper di Siantar, segera saya peluk istri yang sedang mengandung Boas (lahir beberapa bulan kemudian, September 2003), anakku kedua, dan Yohana, putriku yang pertama, masih berusia setahun waktu itu.(*)