Mendorong Tourismpreneurship di Kawasan Danau Toba

Bantors Bantors
Mendorong Tourismpreneurship di Kawasan Danau Toba
Dok Pribadi
Muara terlihat dari jauh

Oleh: Bantors Sihombing

Potensi kawasan Danau Toba sebagai destinasi wisata tak diragukan lagi. Secara alami tanpa perlu diutak-atik, panoramanya sudah sangat indah. Hasil karya para fotografer kelas dunia, nasional dan lokal sudah membuktikannya. Betapa banyaknya spot foto yang bisa dieksplorasi di sana dan sangat instagramble (istilah menyebutkan keadaan dan tempat yang unik, hits, terbaru, mewah, kekinian untuk diabadikan dan dibagikan ke media sosial, seperti Instagram, Facebook, Tiktok, dan lainnya dalam bentuk foto dan video).

Dunia internasional melalui proses panjang telah menilai dengan pengakuan UNESCO dalam sidangnya di Paris, Perancis, 2 Juli 2020, yang menetapkannya menjadi Global Geopark (Taman Bumi). Tak banyak mengetahui Danau Toba yang begitu indah dan menawan itu ternyata adalah hasil letusan Gunung Toba. Materialnya terlempar dan menutupi wilayah seluas 4 juta km persegi. Chesner dalam Ahmad Arif dkk (2014:20) menemukan jejak vulkaniknya di Perak dan Pahan (Malaysia), bahkan ke India, seluruh Samudra Hindia, Laut Arab hingga Laut China Selatan.

Upaya Pemerintah Membangun Pariwisata Danau Toba

Jauh sebelum kemerdekaan RI, kawasan Danau Toba telah mulai dikunjungi beberapa peneliti asing. Mereka menuliskan laporannya dan kemudian memantik kunjungan wisata ke Tanah Batak. Arus wisatawan asing dan lokal makin meningkat setelah kemerdekaan RI. Hingga tahun 1990-an, merupakan pemandangan biasa, ada banyak bule berjalan-jalan di kawasan Danau Toba. Mereka tinggal berhari-hari, berminggu, bahkan berbulan-bulan.

Hingga tiba masa panceklik wisatawan yang diawali krisis moneter tahun 1998, yang menghantam semua sektor perekonomian, termasuk pariwisata. Pukulan telak terjadi setelah peristiwa Bom Bali I pada tahun 2002. Ledakan kembali terulang di Bali pada tahun 2005, yang dikenang sebagai Bom Bali II. Banyak negara melarang warganya ke Indonesia karena takut menjadi sasaran teroris.

Pemerintah bekerja keras memulihkan kepercayaan dunia terhadap pariwisata Indonesia. Tahap awal, Bali yang menjadi prioritas untuk dibangkitkan kembali. Danau Toba masih terabaikan, dan pemulihannya terseok-seok di beberapa periode pemerintahan. Setelah Jokowi menjadi Presiden, pemerintah memberi perhatian sangat besar ke Danau Toba. Bentuk keseriusannya, dengan membentuk Badan Otorita Pengelola Kawasan Danau Toba (BOPKDT), dengan diterbitkanya Perpres.

Langkah awal yang digarap pemerintah adalah dengan membenahi infrastruktur menuju dan sekitar Danau Toba. Antara lain, membangun jalan tol dari Medan yang akan lanjut ke Danau Toba, jalan lingkar (ringroad) pulau Samosir, dan Tano Ponggol yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, untuk pertama sekali dirombak dan didesain dengan mewah. Fery penyeberangan sudah semakin beragam, pintu akses tidak hanya dari Ajibata saja, tetapi sudah ada dari beberapa titik, antara lain Tiga Ras, Balige dan Muara. Pembenahan masih berlanjut hingga hari ini dan di masa depan.

Dampak Pariwisata Bagi Warga Lokal

Menurut Undang Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, khususnya pasal 4, tujuan kepariwisataan, adalah: (a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (b) meningkatkan kesejahteraan rakyat, (c) menghapus kemiskinan, (d) mengatasi pengangguran, (e) melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya, (f) memajukan kebudayaan, (g) mengangkat citra bangsa, (h) memupuk rasa cinta tanah air, (i) memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan, (j) mempererat persahabatan antar bangsa. Lebih lanjut, Naser Egbali, et al. (2011), menegaskan bahwa tujuan yang paling penting dari pengembangan pariwisata adalah pembangunan ekonomi dan sosial daerah pariwisata.

Dari sepuluh tujuan kepariwisataan, empat di antaranya menegaskan kepentingan ekonomi masyarakat. Warga lokal harus menjadi prioritas sebagai penikmat dampak pariwisata tersebut. Sayangnya pembangunan pariwisata di Indonesia termasuk di Danau Toba masih berkiblat ke teori trickle down economics sebagaimana dituliskan dalam artikel di Majalah Immanuel edisi Juni 2021 lalu. Mereka berpikir dengan masuknya banyak investor (asing), maka uang akan masuk membangun hotel, restoran dan objek wisata. Dengan demikian wisatawan akan tertarik datang ke Danau Toba. Memang masuknya investor ini, membuka lapangan pekerjaan, tetapi berapa banyak yang bisa ditampung? Lebih banyak warga lokal yang menjadi penonton dan terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan pariwisata dengan model demikian.

Ada yang menyalahkan warga lokal yang berdaya dan terlibat dalam pariwisata, karena tak memiliki sumber daya manusia yang memadai alias tak kompeten. Pendapat ini hanya benar sebagian, sebab bagaimana mengetahui seseorang memiliki potensi dan kemampuan, jika tak diberi kesempatan. Tentu saja semua pemangku kepentingan harus sepakat menciptakan kondisi dan situasi yang memberi peluang bagi masyarakat lokal untuk berperan.

Tourismpreneurship Sebagai Solusi

Kewirausahaan dalam bidang pariwisata (tourismpreneurship) harus menjadi upaya bersama agar masyarakat lokal tidak terpinggirkan dan menjadi penonton di era kebangkitan pariwisata Danau Toba. Orang Batak adalah para pejuang keluarga yang bisa dipoles menjadi wirausaha-wirausaha baru. Mereka pasti memiliki keunikan dan potensi masing-masing, yang bisa mendukung pembangunan pariwisata dan sekaligus menyejahterakan hidup mereka.

Jika masyarakat lokal tak berdaya, yang menikmati uang pariwisata Danau Toba nantinya adalah orang asing yang notabene investor. Mereka akan merambah ke semua sektor, yang sebenarnya bisa dikerjakan warga lokal. Lalu apakah Danau Toba anti terhadap investasi? Tentu tidak, itu bisa bergandengan dengan masyarakat lokal, sesuai segmen masing-masing. Hanya harus ada kebijakan khusus untuk melindungi warga lokal, dengan melatih mereka menjadi wirausaha sejati.

Ada beberapa nama orang Batak yang sudah merintis bisnis pariwasata berbasis entrepreneurship. Sebut saja Edward Tigor Siahaan-Vera Hutauruk membangun Piltik di Lobu Siregar Siborongborong, Sebastian Hutabarat-Imelda Naipitupulu dengan Pizza Andaliman di Balige, Thomas Heine-Ratnauli Gultom membangun homestay bernama Ecovillage Silimalombu Samosir, dan Kiki Andrea yang membuat bubuk Andaliman dengan merek Samandali di Samosir. Ada talent HKBP yang serius mendorong orang berwirausaha, seperti Pdt Samuel Sihombing, yang dikenal sebagai pendeta kopi (sekarang tugas di Distrik Samosir.

Berikut beberapa potensi tourismpreneurship yang bisa dikembangkan di Danau Toba:

1. Homestay

Setiap rumah di Danau Toba memiliki potensi menjadi homestay. Tinggal bagaimana memoles rumahnya menjadi homestay dan melatih pemiliknya menjadi pengelola yang peofesional. Bagaimana membuat rumah bersih dan sehat, dengan kamar yang layak bagi tamu. Konsep homestay yang sebenarnya dalam rumah tinggal bersama pemilik, bukan terpisah seperti losmen atau hotel.

2. Memberi nilai tambah hasil pertanian

Kawasan Danau Toba memiliki potensi pertanian yang luarbiasa. Ada banyak hasil pertanian yang bisa diberi nilai tambah, tanpa harus membangun pabrik yang memerlukan modal besar. Rintisan usaha ini dalam bentuk industri rumahan sudah ada dan bisa dipelajari secara terbuka. Thomas Heine dan Ratnauli Gultom misalnya telah membuat wine dari mangga Danau Toba yang terbuang, cokelat dari kakao, kopi bubuk kualiatas tinggi dari hasil lokal, minyak kemiri, teh detoksifikasi dari daun sirsak, dan teh serai atau sereh. Andaliman diolah Kiki Andrea di Samosir menjadi bubuk sehingga bisa tahan lama, dikemas dan dijual ke luar Danau Toba. Sebastian Hutabarat–Imelda Napitupulu mengembangkannya menjadi makanan inovatif, melahirkan Pizza Andaliman. Pdt Samuel Sihombing melatih petani bagaimana menanam kopi dan mengolahnya menjadi bubuk kopi yang layak jual.

3. Memberi nilai tambah hasil perikanan

Kawasan Danau Toba memiliki hasil perikanan yang luar biasa secara alami. Bahkan jauh sebelum keramba jaring apung (KJA) diperkenalkan, yang belakangan ternyata menjadi sumber masalah karena mencemari Danau Toba dengan limbahnya. Perikanan dan pariwisata tak perlu berbenturan, asal dilakukan sesuai aturan. Ikan Danau Toba bisa diolah menjadi produk jadi, seperti yang pernah ikan Porapora dijadikan crispy. Hal yang sama bisa dikembangkan dengan ikan lokal yang ada di Danau Toba sekitarnya.

4. Produk kerajinan lokal

Orang Batak memiliki banyak seniman kerajinan tangan yang hebat. Karyanya ada dipajang di berbagai pasar oleh-oleh. Sayangnya banyak karyanya monoton sehingga terkesan membosankan. Ini hanya perlu polesan, motivasi serta belajar dari daerah lain, agar lebih inovatif. Tak perlu meniru produk daerah lain, sebab di Danau Toba banyak bahan dan sumber inspirasi yang bisa dikembangkan.

5. Spa berbasis kearifan lokal

Sebastian Hutabarat-Imelda Napitupulu merintis kembali The Boat Balige Sanctuary yang menyediakan spa bagi pengunjung Danau Toba. Upaya mengeksplorasi bahan rempah lokal sedang dikerjakan. Pada dasarnya orang Batak banyak ahli dalam pijat (massage), yang disebut pandampol. Sayangnya profesi ini masih diidentikkan dengan perdukunan. Padahal ketrampilan ini bisa dipelajari secara ilmiah dan menjadi wirausaha baru.

6. Cafe dan restoran lokal

Produk lokal pertanian, perikanan dan kerajinan menjadi jualan di café dan restoran. Kopi dan teh bisa menjadi sajian utama, bersama makanan lokal dari Tanah Batak. Memang tetap perlu ada investor masuk ke sektor ini, bukan berarti warga lokal yang tak bisa berkembang. Gaya lokal harus dipertahankan dan itu yang menjadi daya tarik bagi wisatawan asing maupun lokal.

Apa yang dituliskan di sini hanya contoh, dan saya percaya banyak orang muda Batak yang memiliki talenta hebat yang akan menggali potensi lokal menjadi wirausaha baru. HKBP telah menyatakan dukungannya secara penuh terhadap pariwisata. Itu sebabnya gereja harus berada di garis terdepan bersama pemangku kepentingan lainnya dalam melahirkan wirausaha-wirausaha baru di kawasan Danau Toba. (*)

NB. Diterbitkan di Majalah Immanuel HKBP edisi Juli 2021.

Penulis
: Bantors Sihombing

Tag: