Oleh: Bantors Sihombing
Seorang perantau dari Parongil, Kabupaten Dairi, Sumut, merasa kecewa. Durian favoritnya tak tersedia saat dia pulang kampung di bulan Desember. Padahal biasanya, saat pulang hendak merayakan Natal dan Tahun Baru bersama keluarga, juga momen menikmati durian. Parongil memang terkenal sebagai penghasil durian yang rasanya khas. Orang Parongil biasanya selalu membanggakan durian dari kampungnya tersebut.
Beberapa petani mengakui musim panen durian di Parongil kini tak bisa lagi diprediksi. Dulu, setiap bulan Desember, durian selalu melimpah ruah. Biasanya durian berbuah dua sekali setahun, pada Desember dan Juni setiap tahunnya. “ Kadang tak berbuah sama sekali, atau bergeser ke bulan Februari. Tak teratur lagi, syukur masih berbuah setiap tahunnya,” kata seorang petani.
Fenomena yang dialami petani durian Parongil juga terjadi berbagai belahan dunia. Bukan hanya durian saja, tetapi beragam komoditi pertanian sering terganggu dan mengalami perubahan tak terduga. Petani acapkali menghadapi ketidakpastian yang sebagian besar mereka tak tahu penyebabnya. Berbagai penelitian menunjukkan perubahan iklim sebagai biang keladi terjadinya turbulensi dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dunia pertanian.
Iklim merupakan salah satu komponen lingkungan yang merupakan faktor penentu keberhasilan budidaya tanaman. Iklim merupakan keadaan cuaca yang sama setiap tahun dan berlangsung lama (Borowski dalam Ariyanti, 2018). Interaksi antara iklim sebagai faktor lingkungan dengan faktor genetik tanaman akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kualitas tanaman. Maka dari itu, iklim sangat berperan terhadap perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang dalam suatu pengelolaan budidaya tanaman (Suciantini dalam Ariyanti, 2018).
Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia ditandai adanya perubahan terhadap temperatur harian rata-rata, pola curah hujan, tinggi muka laut dan variabilitas iklim, misalnya El Nino dan La Nina. Peningkatan suhu memberikan kecenderungan daerah kering akan semakin kering dan daerah basah akan semakin basah. Akibatnya kelestarian sumberdaya air terganggu. Peningkatan suhu yang terjadi pada daerah tropis akan mempengaruhi produktivitas tanaman, distribusi hama, serta penyakit tanaman dan manusia. Perubahan ini memberikan dampak yang serius terhadap berbagai sektor di Indonesia, termasuk sektor kesehatan, pertanian, perekonomian dan lain-lain (Dewan Nasional Perubahan Iklim dan Murdiyarso dalam Ariyanti, 2018).
Apa Itu Perubahan Iklim dan Dampakya
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) dalam http://ditjenppi.menlhk.go.id/ mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah kompoisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada perioda waktu yang dapat diperbandingkan. Komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang di antaranya, terdiri dari Karbon Dioksida, Metana, Nitrogen, dan sebagainya.
Pada dasarnya, Gas Rumah Kaca dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi tetap stabil. Akan tetapi, konsentrasi Gas Rumah kaca yang semakin meningkat membuat lapisan atmosfer semakin tebal. Penebalan lapisan atmosfer tersebut menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer bumi semakin banyak, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu bumi, yang disebut dengan pemanasan global.
Temuan IPCC dalam http://ditjenppi.menlhk.go.id/ membuktikan bahwa perubahan iklim telah berdampak pada ekosistem dan manusia di seluruh bagian benua dan samudera di dunia. Perubahan iklim dapat menimbulkan risiko besar bagi kesehatan manusia, keamanan pangan global, dan pembangunan ekonomi. Terjadinya peningkatan permukaan air laut akan berdampak pada masyarakat pesisir dan daerah dataran rendah di seluruh dunia dengan timbulnya fenomena banjir, erosi pantai dan perendaman, serta hilangnya pulau-pulau kecil.
Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000, dan sebagian besar ibu kota provinsi serta hampir 65 % penduduk tinggal di wilayah pesisir, wilayah Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut serta penggenangan akibat banjir di wilayah pesisir atau rob. Kenaikan muka air laut, selain menyebabkan dampak langsung berupa berkurangnya wilayah akibat tenggelam oleh air laut, rusaknya kawasan ekosistem pesisir akibat gelombang pasang.
Upaya Gereja dan Jemaat Merawat Bumi
Secara global sudah komitmen bagaimana menghadapi perubahan iklim. Paris Agreement misalnya, sepakat untuk menahan laju temperatur global di bawah 3 derajat Celcius. Indonesia juga sudah merespons Paris Agreement dengan Nationally Determined Contribution atau NDC, yakni dokumen kontribusi yang ditetapkan secara nasional. Dokumen ini memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara dalam upaya penurunan emisi, yang dikomunikasikan kepada dunia melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dalam dokumen NDC, Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) tahun 2030 sebesar 29% tanpa syarat, business as usual atau hanya dengan usaha sendiri dan 41% bersyarat atau dengan dukungan internasional yang memadai pada tahun 2030.(https://www.beritasatu.com)
Sekarang bagaimana gereja dan jemaat merespons perubahan iklim tersebut. Bumi dan masa depannya sedang dipertaruhkan, jika tak tindakan drastis. Gereja dan jemaat harus terlibat secara aktif dan proaktif dalam upaya merawat bumi. Sebab bumi adalah rumah kita! Jika rumah perlu dibersihkan, dirawat dan dijaga, maka juga demikian dalam konteks yang berbeda.
Tuhan telah memberikan mandat bagi manusia untuk ‘menguasai’ bumi dan isinya (Kejadian 1:28). Menguasai bukan berarti mengeksploitasinya sesuka hati, melainkan disertai tanggung jawab untuk mengelola dan merawatnya. Sebab bumi bukan hanya diwarisi dari leluhur, tetapi juga hendak diwariskan ke anak cucu atau generasi mendatang. Sebagai umat Tuhan, tentu kita berkeinginan mewariskan bumi dalam keadaan terawat, dan tidak sedang dalam kehancuran.
Gereja secara organisasi mesti menerjemahkan Nationally Determined Contribution atau NDC Indonesia dalam bentuk tindakan nyata. Apa yang harus dilakukan dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Rumusan tersebut kemudian dibicarakan dan dijadikan komitmen di tingkat sinode, distrik, ressort, huria hingga jemaat sebagai keluarga dan perorangan. Tak perlu muluk-muluk, tindakan kecil sangat bermanfaat untuk merawat bumi dalam menghadapi perubahan iklim global.
Berikut beberapa program secara gereja dalam rangka menghadapi perubahan iklim:
1. Menanam dan merawat pohon
Menanam pohon sering direduksi menjadi seremoni belaka. Setelah melakukan gerakan penanaman pohon, setelah itu lupa dan tidak tahu apakah tumbuh dengan baik. Gereja bisa memulai dari pekarangan jemaat dan gereja, kemudian meluasi ke area publik, seperti lahan atau hutan kritis. Kegiatan ini bisa berkolaborasi dengan dinas kehutanan setempat. Setelah menanam pohon, dilanjutkan dengan tindakan merawatnya, bisa setahun hingga lima tahun.
2. Mengurangi penggunaan plastik
Pengunaan plastik sudah menjadi gaya hidup bagi banyak orang. Perlu komitmen untuk secara perlahan menguranginya. Mungkin tidak bisa drastis, bisa dimulai dengan mengurangi pemakaian kantong plastik saat berbelanja dan sedotan saat minum di cafe. Sampah plastik sangat sulit diurai, sehingga harus ditangani secara khusus.
3. Menghemat penggunaan listrik
Hampir semua aspek hidup saat ini menggunakan listrik. Menghemat listrik bukan berarti menjadi tidak menggunakannya sama sekali. Program menghemat listrik berarti mematikan perangkatnya saat tak digunakan, mengurangi penghamburan arus yang tak perlu dan beralih ke penggunaan sumber listrik dari energi terbarukan. Gereja bisa memelopori pemakaian listrik dari tenaga matahari (meski parsial), dan mikrohidro (tenaga air dalam skala kecil).
4. Menghemat penggunaan air
Air mesti dihemat dengan berbagai cara. Antara lain, tidak membuang-buang air untuk hal yang perlu. Praktik mencuci kain dan piring dengan hemat air perlu diajarkan ke jemaat agar menjadi gaya hidup.
5. Mengurangi polusi
Sumber polusi sangat banyak di sekitar kita. Praktik yang sering terjadi adalah membakar sampah, dan membuang sampah ke sungai. Cara ini dianggap praktis padahal bisa mencemari udara. Mengurangi polusi harus menjadi kebiasaan sejak dini.
6. Menerapkan reduce, reuse, dan recycle
Pola ini menekankan pentingnya melakukan bahan daur ulang dan bisa digunakan kembali.
Cara yang disarankan masih sebagian dari gerakan menghadapi perubahan iklim. Ada banyak cara yang bisa digali melalui diskusi bersama Perlu kesehatian dalam merawat bumi dalam tindakan nyata dan konkret. Sekali lagi HKBP harus menjadi garda terdepan dalam merawat bumi! (*)
Dimuat di Majalah Immanuel Edisi Juni 2022